Ketika kedua orang tua dengan mudah melepaskan anak gadisnya merantau dan mencari ilmu jauh di negri orang, pantaskah mereka disebut kejam? atau bahkan jahat? TIDAK. Sebagai gadis lugu yang baru saja meraba dimensi dunia, aku tidak segan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban tidak. Mengapa? Karena aku merasakan dan mengalaminya sendiri.
Hari ini tepat seminggu yang lalu, aku merasakan pelukan terhangat dari mama dan bapak setelah berpamitan meninggalkan mereka. Perasaan takut dan cemas itu aku sembunyikan dalam-dalam agar tidak terekam oleh salah satu panca indera milik mereka. Apakah masih bisa aku merasakan pelukan itu di kemudian hari? Saat mereka telah digerogoti usia yang semakin menua dan rambut yang semakin memutih. Harapanku hanyalah kembali dengan sebuah kebanggaan dan kesuksesan yang akan mengukir senyuman di bibir mereka berdua ketika menyambutku pulang nanti. Aamiin (jujur, gak kuat nahan air mata waktu nulis ini awokawok)
Menjadi wanita yang kuat dan mandiri adalah cita-citaku. Menuntut ilmu di belahan bumi lainnya merupakan kepercayaan yang amat besar diberikan orang tua padaku. Kesempatan yang tidak datang dua kali, kesempatan emas yang bisa menjadi peluang besar untukku terus memperbaiki diri. Dan kepercayaan itulah yang sedang aku jaga baik-baik saat ini. Lalu tanggung jawab dalam menjaganya insyaallah bisa menjadi proses menuju pribadi yang kuat, mandiri dan tangguh.
7 tahun lamanya mengenyam pendidikan di sebuah pesantren tidak menyelamatkanku dari paksaan kuat untuk mengenal dunia yang bagiku sangat lah asing. Dunia yang berbeda jauh dari apa yang aku bayangkan selama ini, dunia yang menebar kenikmatan untuk menarik manusia dengan mudah dalam perangkapnya. Hanya mereka dengan keimanan dan ketakwaan yang dapat melewatinya dan berjalan tanpa beriringan dengannya.
Sekarang aku hanyalah orang asing yang setiap hari bertemu dengan orang asing lainnya ditempat yang asing pula. Walaupun sudah terbiasa hidup jauh dari orang tua semenjak berusia 9 bulan, tidak melepas kemungkinan bahwa diriku akan tetap dilanda sebuah puncak kerinduan dan kesedihan. Ketakutan terus menghantui fikiran dan kalbuku. Halang rintang apa sajakah yang akan menghampiriku setelah ini? Semuanya akan aku hadapi sendirian. Benar-benar sendirian.
Jarak 9.081 km dan perbedaan waktu 5 jam antara Indonesia-Turki menyadarkan aku untuk lebih cermat dalam memilih ihwal apa saja yang harus diprioritaskan. Dalam memilih nilai dan ukuran yang akan aku jadikan pegangan hidupku ke depan. Kini aku telah menjadi nahkoda yang mengendalikan arah dan tujuan di laut manakah aku akan berlayar. Aku membawa banyak harapan dan keinginan orang-orang tersayangku, bahu ini terasa memikul tanggung jawab yang lebih berat dari sebelumnya. Harus tetap semangat meski tanpa penyemangat.
Disamping perjuangan keras menuju banyak mimpi yang belum terealisasikan, setan tak pernah absen untuk selalu mengirim banyak godaan duniawi padaku. Agar aku lalai akan niat dan tujuan yang sudah aku susun rapi sebelum melangkah mengambil keputusan besar ini. Ya Allah aku yakin kesendirian ini mampu menghantarkan ku pada fase dan proses yang lebih baik. Kuatkan hati dan imanku Ya Allah. Bimbinglah aku agar senantiasa mampu membuktikan pada dunia bahwa aku tidak sendiri karena kau selalu bersamaku.
With me, Iga Mawarni.
📍Gaziantep, Turkey.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar